Sabtu, 16 April 2011

“Ibu Akan Marah Kepadamu”

Kepekatan lumutnya adalah panorama indah yang kunikmati sejak aku membuka mata ke dunia ini, hutan adalah anugerah hidup dan kebanggaan orang-orang desa kami, bahkan katanya tonggak keperkasaan sebuah khatulistiwa ditandai olehnya, menjadi mata pencarian hampir sembilan puluh persen penduduk desa. Sebuah desa yang terletak jauh di pedalaman pulau Kalimantan.
Aku sendiri terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kehadiranku disambut riuh rancak burung pipit yang bertengger di dahan akasia pada pagi 21 September 1989. Hawa dingin segar dipagi hari, memberikan kenikmatan tersendiri. Setiap aku menutup mata, terselip kedamaian yang luar biasa di hati ini.

“Aku berhutang pada nyanyianmu” bisikku pada burung-burung itu.

Namun kini, aku tak henti-hentinya mengusap air yang terus terkantung di sudut mataku mengenang tragedi keserakahan manusia berhati baja itu.

“Tak berperasaan!”, kutukku pada kenyataan.

Hal ini berawal pada pagi hari, ketika bapak menyuruhku membeli makanan ayam dan pisang untuk Loko. Loko adalah nama lutung sejenis kera hitam berekor panjang kesayangan bapak. Uang pecahan ribuan segera menempel ditangan, tanda dimulainya tugas kedua dalam minggu ini. Bapak selalu menyuruhku untuk pergi kepasar dua kali dalam seminggu untuk memenuhi kebutuhan piaran kami itu. Dan ini telah menjadi tugas rutin, pergi ke pasar delapan kali dalam sebulan dengan hari-hari yang telah ditentukan. Yaitu Kamis dan minggu.

berbekal sepeda tua warna merah jambu andalan bapak, aku siap. Meskipun suaranya sudah berdengek kasar, tapi itu satu-satu alat transport warisan bapak dari bapakku – tidak semua keluarga sanggup memilikinya – Jagan kau hina!

Dalam perjalananku menuju ke pasar. Ada yang berbeda. Kali ini aku ternampak selusin orang memenuhi kantor balai desa. Sejenak aku menghentikan kayuhan sepeda ontaku dan melihat gelagat orang-orang tersenyum dan tertawa puas memenuhi balai desa. Beragam manusia ada disana. Ada yang kurus, ada yang tinggi besar memakai topi hitam, dan ada yang berkulit putih dengan perut membuncit. Dan adapula orang-orang yang memakai baju hijau-hijau, tersemat atribut pemerintah di bahunya. Sesekali aku mendengar riuh tepuk tangan mereka, dan tak henti-hentinya mereka mengatakan Suksek! Sukses! Sukses ya!? Mudah-mudahan sukses!. Urat-urat di lengannya nampak membesar ketika menggenggam tangan lawannya. Salaman erat, dengan henjutan pasti, sarat dengan keoptimisan dari air wajah-wajah orang-orang itu.

Serasa lama aku berdiri, sengal dikakiku membuatku tersadar dan mengingatkan bahwa aku ada tugas yang lebih penting, daripada aku harus bermain dengan pertanyaan-pertanyaan benak. Karena merasa terlambat dan haripun merambat siang, kukayuh sekuat-kuatnya sepeda jangkung berdiameter relatif lebar. Sepeda tua miliki bapak yang tak lagi memiliki kulit sadelnya. Meskipun begitu aku tidak perduli, karena dengan postur tubuhku yang kecil, aku memang tidak dapat menaiki sadelnya yang tinggi, he..he..he. Jika aku merasa sengal mengayuh, aku cukup duduk di batang besi berdesain miring yang terletak diantara setang dan batang penyangga sadelnya.

Butuh waktu lama untuk hitungan kiloan meter perjalanan dari rumuah menuju pasar. Tugas rutin ini sama sekali tak membuatku terbebani. Yang ada malah semangat menggebu. Karena hanya dengan ini aku merasa puas bersepeda dengan perjalanan panjang menyusuri kampung, melewati beberapa rumah-rumah warga. Dan yang lebih penting bagiku adalah, aku bisa melihat hutanku yang panjang. Indah menutupi impian bagi siapa saja yang ingin beranjak. Hijaunya mendamaikan jiwa. Mentolerir rasa capai sekalipun. Hutan ini biasa disebut sebagai hutan kerangas, satu tipe hutan hujan tropik yang umumnya terdapat di Kalimantan, yang setelah ditebang atau dibakar tidak dapat ditanami padi, karena mempunyai tanah podsol dengan pH 3 sampai 4 dan kandungan haranya rendah. Itu kata pak Jumrah, Kades yang entah sudah keberapa belas kalinya memimpin desa kami. Aku bingung bagaimana caranya dia bisa melanggengkan periode demi periodenya. Ganteng juga tidak! Aku sempat mengira kalau pak kades itu memakai susuk. Susuk pemilukada namanya.

Perlahan tapi pasti, akhirnya aku pun sampai di pasar, dan segera membeli pesanan bapak. Sekantung makanan ayam dan sesisir pisang tandan cukup memberiku alasan untuk tidak berlama-lama berada di area tanah sengketa pemerintah itu. Aku lebih senang bersepeda, daripada berhenti lama disuatu tempat. Dengan begitu aku bisa lebih puas lagi bersepeda. Dengan sedikit memelankan kayuhanku, aku tak bermaksud untuk menyinggung sang waktu. Tapi memang mataku ini, seakan tak puas melihat panorama hutan. Rasa sejuk, lembab, tenang, bersih dan damai, membuat betah mataku menongkronginya.

Tak terasa waktu yang berlalu. hari tak lagi panas, menandakan hari segera sore. Ku percepat kayuhan lamban sepada tua bapak. Aku melihat balai desa tampak lengang,

“Kemana orang-orang tadi?, apa mungkin karena sudah sore”. Tebakku.

Seperti aku yang ingin cepat-cepat pulang karena siang akan segera menutup usianya. Tebakan tak jitu itu kemudian membuatku merasa aneh. Aku melihat di jalan tanah ini tak lagi rata, tidak seperti yang aku lalui tadi pagi. Terdapat dua jalur yang membelah tanah. Seperti cetakan ban mobil berukuran besar.

“Tapi raksasa berbentuk apa yang sanggup menceruk tapak tanah demikian dalam?” Gumamku.

Rasa penasaran reflek menambah kecepatan kayuhku. Tiba-tiba hatiku bimbang, terbersit rasa tak nyaman akan hausku atas jawaban. Aku diberikan kelebihan oleh Tuhan dengan rasa penasaranku. Kuiringi salur-salur itu.

“Aku ingin tahu apa, kenapa, siapa, dimana dan bagimana bisa semua ini terjadi padaku dan hutanku!”. Aku tersentak ketika dihadapanku terhampar lapang kosong seluas dua belas kali lapangan bola. Hutanku hilang!? Aku tergaman ketika sampai di depan pekarangan tampak seperti area bandara kapal terbang itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja nadiku spontan tak bekerja dengan sempurna, darahku mulai menghangat. Aku seperti orang yang ingin berusaha mencari air dan sesegera mungkin untuk keluar dari mimpi.

Kusandarkan sepeda bapak ke tanah. Aku terhenyuh dengan pemandangan baru ini. Tak pernah sedikitpun aku menyangka, kalau ini akan terjadi. Mataku basah. Tapi aku merasa hatikulah yang sedang menangis, hanya – airnya saja meleleh melalui mata. Aku tertegun tak dapat berkata lagi. Tak kuhiraukan lagi pesanan bapak yang segera harus ku antar pulang. Tundukku tak habis pikir, berkali-kali menelan liur meski kerongkongan ini sejak tadi memang kering.

Aku mematung dan mengangkat wajahku perlahan, memandang lekat masih tak percaya. Hening, sepi, tak terdengar ada nyanyian penduduk hutan. Namun kemudian mataku menangkap objek besar, sebuah lembaga baja besar beroda rantai dilengkapi alat untuk meratakan tanah dan menumbangkan pohon besar. Posisinya yang terparkir diantara tumpukan mayat-mayat kayu besar itu, membuatku yakin pasti robot inilah penyebabnya.

“Rupanya jalur-jalur di ruas jalan tadi adalah tapakmu. Kau pasti yang telah mebunuh kayu-kayu itu kan?”. Baguslah kau diam. Karena aku sudah tak perduli dengar alasanmu. Jujur!, meski aku baru berusia dua belas tahun, tapi aku tidak takut padanya. Lawan aku barbar!?

Rasa geramku mulai membatu, umpat serapah makian dan cercaan kuarahkan ke telinga badak besar itu. Tak puas hanya dengan itu, kupaketkan segera tinju dan tendanganku kearah lembaga yang sesungguhnya tak kukenali itu. Tanganku berdarah, kakiku lecet, sengal membiru. Namun, “rasa sakit di tangan dan kaki ini tak sebanding dengan sakit dihatiku”. Darahku semakin gila bergejolak.

“Kau tau akibat dari semua perlakuanmu ini!?, Ibu dari kayu-kayu ini akan marah kepadamu! lutungku juga akan mengutukmu, bodoh! Kaulah pendosa, merusak paru-paru Ibu! Tangisnya segera menenggelamkan cita kami orang kampung.” Aku terus saja berteriak, menggertak dan memakinya. Tapi seingatku dia tak sedikitpun bergeming kala itu, aku menduga dia telah mengakui kesalahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar