Sabtu, 16 April 2011
TUHAN YANG SOMBONG
“Kesombongan adalah selendang-Ku, barang siapa yang memakainya maka akan Aku hancurkan dia”.
Telah kita ketahui pula bahwa yang menjadi hakikat dari tujuan hidup manusia adalah menterjemahkan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri dan kehidupan sehari-hari.
Seorang pengagum yang tergila-gila kepada sang idola, dan – hampir seluruh hidup dan kehidupannya merupakan prototipe dari sang idola. Dimulai dari cara hidup, penampilan (style), tutur kata, gaya rambut, fashion, gerak-gerik – yang sampai-sampai tak tersisa lagi ruang bagi jati dirinya sendiri, dan pada gilirannya dia tidak kenal lagi siapa dirinya yang sesungguhnya. Tapi toh dengan begitu, sang pengagum bukanlah idola dan selamanya tidak akan pernah menjadi si idola.
Begitu pun dengan hakikat tujuan hidup manusia yang menterjemahkan sifat-sifat keilahian Tuhan kedalam diri dan kehidupan. Namun kita harus ingat, dengan begitu seorang hamba tak bisa dan tak akan pernah bisa untuk menjadi Tuhan. Kesombongan hanya milik Allah! Dan “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Q.s An-Nahl: 23). Dan Tuhan Berkata “Kesombongan adalah selendang-Ku, barang siapa yang memakainya maka akan Aku hancurkan dia”.
Sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang yang sombong dihancurkan dengan tangan-Nya, dan dimana seorang pemegang kekuasaan mati dengan begitu hinanya.
Allah berfirman;
Artinya; “Demikianlah Allah mengunci mati setiap hati orang yang sombong lagi menyalahgunakan kekuasaan.” (al-Mukmin: 35)
Allah berfirman;
Artinya; “Dan (juga) Karun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).” (Al-Ankabut: 39).
Sombong yang dalam terminologi Islam disebut takabur, dianggap sebagai salah satu dosa besar (sirik kecil) dan merupakan salah satu penyakit hati yang amat berbahaya.
Sifat takabur pula yang menyebabkan iblis harus hengkang dari surga, yang sebelumnya kita tahu bahwa ia adalah inner circle Tuhan. Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah, Qarun yang juga terkubur bersama seluruh kekayaannya, Lenin – dan Hitler harus bunuh diri karena menanggung malu, Unisoviet sebagai negara adidaya harus hancur berkeping-keping, dan masih banyak lagi pemimpin-pemimpin besar dunia yang dengan kesombongannya, Tuhan meluluh-lantahkan dan menghinakannya dengan sehina-hinanya.
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Kejadian-kejadian alam, seperti meletusnya Krakatau di pulau Jawa, gempa bumi yang rentan terjadi di Jepang, berbagai macam badai yang kerap menghantam Amerika Serikat, angin topan, Tornado, Tsunami yang menyapu Banda Aceh dan Sumatra, dilanjutkan lagi dengan gempa yang menggoyang Jogjakarta, yang kesemua itu membuktikan keangkuhan Tuhan. Kesombongan hanya milik Allah dan sebaliknya, manusia hanya merupakan makhluk lemah tak berdaya yang tak bisa berbuat apa-apa.
Kita tidak bisa menafikan bahwa, hidup kita sangat bergantung kepada suatu kekuatan maha hebat, peletak segala sesuatu, pemilik segalanya, penggenggam segala kekuasaan, maha dahsyat yang memiliki segala sifat yaitu Tuhan, Dialah Allah SWT. Dan kita hanyalah manusia kerdil, dan kita tidak pantas menyandang sifat yang satu ini. Manusia yang hanyalah lahir dari setitik air mani yang hina dan hidup dengan selalu membawa kotoran dalam perutnya, serta akan kembali menjadi rata dengan pijakan kaki (tanah).
Karena itu, apabila kita merasakan terdapat satu bibit keangkuhan dalam diri kita, hendaknya lekaslah kita cungkil dengan belati taubat, jagalah hati kita selalu dengan keimanan, serta perisai diri dengan taqwa. Karena Rasulullah jauh-jauh sebelumnya telah memperingatkan kita tentang betapa bahayanya penyakit ini dengan mengatakan “Tidak akan masuk syurga seseorang yang pada dirinya memiliki perasaan takabur walau hanya sebesar debu”.
Tapi Allah dengan kemurahan-Nya memberikan kiat kepada kita untuk meruntuhkan sifat keangkuhan ini dengan “Bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada-Ku”. Karena sujud adalah lambang perendahan diri kita yang serendah-rendahnya, agar kita dekat dengan Allah. Semakin seseorang merendahkan dirinya, semakin dekat pula ia dengan yang Maha Tinggi.
Para sufi tidak menggambarkan surga sebagai tempat yang dialiri sungai susu dan khamar, penuh dengan buah-buahan yang ranum serta para bidadari nan rupawan. Mereka hanya menganggap hal itu hanya sebagai perlambangan saja. Menurut para sufi, hal yang paling indah dari syurga adalah pertemuannya dengan Allah SWT. Persatuan dengan Tuhan yang penuh kasih, yang hal itu takkan bisa dicapai bila masih ada satu titik keangkuhan walau hanya sebesar biji sawi di dalam hati kita.
Wallahu a’lam bishawab
Telah kita ketahui pula bahwa yang menjadi hakikat dari tujuan hidup manusia adalah menterjemahkan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri dan kehidupan sehari-hari.
Seorang pengagum yang tergila-gila kepada sang idola, dan – hampir seluruh hidup dan kehidupannya merupakan prototipe dari sang idola. Dimulai dari cara hidup, penampilan (style), tutur kata, gaya rambut, fashion, gerak-gerik – yang sampai-sampai tak tersisa lagi ruang bagi jati dirinya sendiri, dan pada gilirannya dia tidak kenal lagi siapa dirinya yang sesungguhnya. Tapi toh dengan begitu, sang pengagum bukanlah idola dan selamanya tidak akan pernah menjadi si idola.
Begitu pun dengan hakikat tujuan hidup manusia yang menterjemahkan sifat-sifat keilahian Tuhan kedalam diri dan kehidupan. Namun kita harus ingat, dengan begitu seorang hamba tak bisa dan tak akan pernah bisa untuk menjadi Tuhan. Kesombongan hanya milik Allah! Dan “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Q.s An-Nahl: 23). Dan Tuhan Berkata “Kesombongan adalah selendang-Ku, barang siapa yang memakainya maka akan Aku hancurkan dia”.
Sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang yang sombong dihancurkan dengan tangan-Nya, dan dimana seorang pemegang kekuasaan mati dengan begitu hinanya.
Allah berfirman;
Artinya; “Demikianlah Allah mengunci mati setiap hati orang yang sombong lagi menyalahgunakan kekuasaan.” (al-Mukmin: 35)
Allah berfirman;
Artinya; “Dan (juga) Karun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).” (Al-Ankabut: 39).
Sombong yang dalam terminologi Islam disebut takabur, dianggap sebagai salah satu dosa besar (sirik kecil) dan merupakan salah satu penyakit hati yang amat berbahaya.
Sifat takabur pula yang menyebabkan iblis harus hengkang dari surga, yang sebelumnya kita tahu bahwa ia adalah inner circle Tuhan. Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah, Qarun yang juga terkubur bersama seluruh kekayaannya, Lenin – dan Hitler harus bunuh diri karena menanggung malu, Unisoviet sebagai negara adidaya harus hancur berkeping-keping, dan masih banyak lagi pemimpin-pemimpin besar dunia yang dengan kesombongannya, Tuhan meluluh-lantahkan dan menghinakannya dengan sehina-hinanya.
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Kejadian-kejadian alam, seperti meletusnya Krakatau di pulau Jawa, gempa bumi yang rentan terjadi di Jepang, berbagai macam badai yang kerap menghantam Amerika Serikat, angin topan, Tornado, Tsunami yang menyapu Banda Aceh dan Sumatra, dilanjutkan lagi dengan gempa yang menggoyang Jogjakarta, yang kesemua itu membuktikan keangkuhan Tuhan. Kesombongan hanya milik Allah dan sebaliknya, manusia hanya merupakan makhluk lemah tak berdaya yang tak bisa berbuat apa-apa.
Kita tidak bisa menafikan bahwa, hidup kita sangat bergantung kepada suatu kekuatan maha hebat, peletak segala sesuatu, pemilik segalanya, penggenggam segala kekuasaan, maha dahsyat yang memiliki segala sifat yaitu Tuhan, Dialah Allah SWT. Dan kita hanyalah manusia kerdil, dan kita tidak pantas menyandang sifat yang satu ini. Manusia yang hanyalah lahir dari setitik air mani yang hina dan hidup dengan selalu membawa kotoran dalam perutnya, serta akan kembali menjadi rata dengan pijakan kaki (tanah).
Karena itu, apabila kita merasakan terdapat satu bibit keangkuhan dalam diri kita, hendaknya lekaslah kita cungkil dengan belati taubat, jagalah hati kita selalu dengan keimanan, serta perisai diri dengan taqwa. Karena Rasulullah jauh-jauh sebelumnya telah memperingatkan kita tentang betapa bahayanya penyakit ini dengan mengatakan “Tidak akan masuk syurga seseorang yang pada dirinya memiliki perasaan takabur walau hanya sebesar debu”.
Tapi Allah dengan kemurahan-Nya memberikan kiat kepada kita untuk meruntuhkan sifat keangkuhan ini dengan “Bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada-Ku”. Karena sujud adalah lambang perendahan diri kita yang serendah-rendahnya, agar kita dekat dengan Allah. Semakin seseorang merendahkan dirinya, semakin dekat pula ia dengan yang Maha Tinggi.
Para sufi tidak menggambarkan surga sebagai tempat yang dialiri sungai susu dan khamar, penuh dengan buah-buahan yang ranum serta para bidadari nan rupawan. Mereka hanya menganggap hal itu hanya sebagai perlambangan saja. Menurut para sufi, hal yang paling indah dari syurga adalah pertemuannya dengan Allah SWT. Persatuan dengan Tuhan yang penuh kasih, yang hal itu takkan bisa dicapai bila masih ada satu titik keangkuhan walau hanya sebesar biji sawi di dalam hati kita.
Wallahu a’lam bishawab
Prolog
Satu yang kita tau, dari satu segalanya dimulai..
air, udara, api, tanah dan sebagainya, selalu berjalan lurus berbanding setara.
setiap kejadian yang hadir niscaya memiliki satu alasan kebenaran konkrit.
walaupun kadang tak ada satupun kebenaran yang memberikan satu keniscayaan.
kisah ini memang bukan yang pertama kalinya,
setiap babak yang di mulai selalu memberikan akhir yang membingungkan.
tapi yaa.. hidup emang selalu demikian..
tak pernah jengah memberikan teka-tekinya....
kesadaran itu yang memberikan kita satu kepastian.
dan kepastian itu yang menyadarkan bahwa kemisteriusan hidup hanya dapat dipecahkan oleh satu rasa yang menggantung.
rasa yang hanya diberikan kepada mereka yang sadar oleh keberadaannya.
kami bertiga sepakat untuk menyebut rasa itu,.. adalah CINTA.......... (Elang_)
Pengecut!!
Sampai sekarangpun aku masih saja tetap menjadi sang pengecut.
pecundang yang bertopeng di balik kekuasaan prinsip.
lagi-lagi alasan pertimbangan akal yang menjadi kuda tunggangan.
tapi akupun tak mau menjadi seperti seorang pujangga,
yang seumur hidupnya harus bersembunyi di balik ketiak kata-kata bijak.
memandang cinta untuk mengalahi kausalitas yang baku. (Elang_)
Cit.. Cit.. Cit..
Suatu ketika, aku melihat seekor pipit yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian.
Ku dekati dan aku bingung..?
Ketika ku perhatikan, sayap kirinya patah. Ada bekas tembusan pula.
Aku kira, itu pasti mantan peluru dari selingsong hangat miliki predator amatir.
(Cit.. cit.. cit..) Iyaa.. aku tau kau pasti sangat menderita dan perlu bantuan.
Tapi sayangnya Aku bukan dewamu
Aku bukan Tuhan ataupun setengahnya,
Aku hanya orang yang tidak suka mengambil pekerjaan Tuhan untuk menolong
Aku hanya datang untuk menertawaimu.
Kewanitaanmu
Panas membahang
Membakar pribadi nan sunyi
Memanggang asa yang kian deras
Sanggup menghentikan aktivitas sel otak sebelah kanan
Ia mengahanguskan seluruhnya
Dan hanya menyisakan satu rasa
Kewanitaanmu..
Benar-benar membuat aku gila
Cemburu
Heeiii.... Kau yang tersembunyi di balik sana..!!
Tolong dengarkan aku!?
Hari ini, untuk pertamanya aku harus jujur kepadamu. Dan pertama kalinya pula aku benar-benar mengharapkan belas kasihmu.
Selama ini aku selalu terima tawaran-tawaran hidup yang kau berikan. 15 tahun yang lalu kau panggil ayahku. Saat aku masih membutuhkan kebijaksanaannya. Menyusul ibuku 3 tahun kemudian. Satu-satunya wanita yang mengajarkan aku tentang hidup, kasih sayang.. ia ajarkan aku cinta!
Tapi sekarang..!? mengapa tak kau izinkan aku memiliki rasamu.. aku mencintai makhlukmu. Palingkan hatinya padaku.
Begitu besarkan kesalahanku hingga Kau harus cemburu kepadaku.
Mungkinkah aku terlalu hina untuk rasa yang agung..?
Atau aku terlalu rendah untuk sebuah rasa yang tinggi..?
Atau aku memang najis untuk rasa cinta yang suci..!
Tapi tolong..! berikan aku kesempatan..
Aku pasti akan menjaganya dengan cintaku..
Mimpi
Bermimpilah..
Karena setiap mimpi terdapat beberapa pintu
Ada sekantung harapan yang tergantung di tiap-tiap pintu mimpi itu
Dengan mimpi kita bisa berbuat apa saja..
Tidak ada hukum, hakim, maupun yang terhakimi..
Tidak ada dosa untuk mimpi, tapi pasti ada kebaikan olehnya..
Kesalahan fatal terjadi ketika kita takut untuk bermimpi..
Harusnya aku menunggu lebih lama lagi untuk berteduh di bawah derai rintik
Atau mungkin aku terlalu ragu hingga berkali-kali kereta meninggalkanku
Reruntuhan hujan di pematang jingga, sempat mematahkan hatiku untuk beberapa langkah
Kesetiaan payung merah itu yang membuatku tak dapat memandang cinta diujung rendanya
Haruskah...
Sekeping kecil hati ini di belah lagi menjadi dua
Terkadang yang ada kini, aku harus melebarkan lagi dindingnya
Kenapa...
Dan kenapa pula aku selalu ragu kalau ia mampu menahan segala rasa dan asa
Aku masih cemburu dengan hatiku,
Dan tak membiarkan cinta mencintainya..
air, udara, api, tanah dan sebagainya, selalu berjalan lurus berbanding setara.
setiap kejadian yang hadir niscaya memiliki satu alasan kebenaran konkrit.
walaupun kadang tak ada satupun kebenaran yang memberikan satu keniscayaan.
kisah ini memang bukan yang pertama kalinya,
setiap babak yang di mulai selalu memberikan akhir yang membingungkan.
tapi yaa.. hidup emang selalu demikian..
tak pernah jengah memberikan teka-tekinya....
kesadaran itu yang memberikan kita satu kepastian.
dan kepastian itu yang menyadarkan bahwa kemisteriusan hidup hanya dapat dipecahkan oleh satu rasa yang menggantung.
rasa yang hanya diberikan kepada mereka yang sadar oleh keberadaannya.
kami bertiga sepakat untuk menyebut rasa itu,.. adalah CINTA.......... (Elang_)
Pengecut!!
Sampai sekarangpun aku masih saja tetap menjadi sang pengecut.
pecundang yang bertopeng di balik kekuasaan prinsip.
lagi-lagi alasan pertimbangan akal yang menjadi kuda tunggangan.
tapi akupun tak mau menjadi seperti seorang pujangga,
yang seumur hidupnya harus bersembunyi di balik ketiak kata-kata bijak.
memandang cinta untuk mengalahi kausalitas yang baku. (Elang_)
Cit.. Cit.. Cit..
Suatu ketika, aku melihat seekor pipit yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian.
Ku dekati dan aku bingung..?
Ketika ku perhatikan, sayap kirinya patah. Ada bekas tembusan pula.
Aku kira, itu pasti mantan peluru dari selingsong hangat miliki predator amatir.
(Cit.. cit.. cit..) Iyaa.. aku tau kau pasti sangat menderita dan perlu bantuan.
Tapi sayangnya Aku bukan dewamu
Aku bukan Tuhan ataupun setengahnya,
Aku hanya orang yang tidak suka mengambil pekerjaan Tuhan untuk menolong
Aku hanya datang untuk menertawaimu.
Kewanitaanmu
Panas membahang
Membakar pribadi nan sunyi
Memanggang asa yang kian deras
Sanggup menghentikan aktivitas sel otak sebelah kanan
Ia mengahanguskan seluruhnya
Dan hanya menyisakan satu rasa
Kewanitaanmu..
Benar-benar membuat aku gila
Cemburu
Heeiii.... Kau yang tersembunyi di balik sana..!!
Tolong dengarkan aku!?
Hari ini, untuk pertamanya aku harus jujur kepadamu. Dan pertama kalinya pula aku benar-benar mengharapkan belas kasihmu.
Selama ini aku selalu terima tawaran-tawaran hidup yang kau berikan. 15 tahun yang lalu kau panggil ayahku. Saat aku masih membutuhkan kebijaksanaannya. Menyusul ibuku 3 tahun kemudian. Satu-satunya wanita yang mengajarkan aku tentang hidup, kasih sayang.. ia ajarkan aku cinta!
Tapi sekarang..!? mengapa tak kau izinkan aku memiliki rasamu.. aku mencintai makhlukmu. Palingkan hatinya padaku.
Begitu besarkan kesalahanku hingga Kau harus cemburu kepadaku.
Mungkinkah aku terlalu hina untuk rasa yang agung..?
Atau aku terlalu rendah untuk sebuah rasa yang tinggi..?
Atau aku memang najis untuk rasa cinta yang suci..!
Tapi tolong..! berikan aku kesempatan..
Aku pasti akan menjaganya dengan cintaku..
Mimpi
Bermimpilah..
Karena setiap mimpi terdapat beberapa pintu
Ada sekantung harapan yang tergantung di tiap-tiap pintu mimpi itu
Dengan mimpi kita bisa berbuat apa saja..
Tidak ada hukum, hakim, maupun yang terhakimi..
Tidak ada dosa untuk mimpi, tapi pasti ada kebaikan olehnya..
Kesalahan fatal terjadi ketika kita takut untuk bermimpi..
Harusnya aku menunggu lebih lama lagi untuk berteduh di bawah derai rintik
Atau mungkin aku terlalu ragu hingga berkali-kali kereta meninggalkanku
Reruntuhan hujan di pematang jingga, sempat mematahkan hatiku untuk beberapa langkah
Kesetiaan payung merah itu yang membuatku tak dapat memandang cinta diujung rendanya
Haruskah...
Sekeping kecil hati ini di belah lagi menjadi dua
Terkadang yang ada kini, aku harus melebarkan lagi dindingnya
Kenapa...
Dan kenapa pula aku selalu ragu kalau ia mampu menahan segala rasa dan asa
Aku masih cemburu dengan hatiku,
Dan tak membiarkan cinta mencintainya..
“Ibu Akan Marah Kepadamu”
Kepekatan lumutnya adalah panorama indah yang kunikmati sejak aku membuka mata ke dunia ini, hutan adalah anugerah hidup dan kebanggaan orang-orang desa kami, bahkan katanya tonggak keperkasaan sebuah khatulistiwa ditandai olehnya, menjadi mata pencarian hampir sembilan puluh persen penduduk desa. Sebuah desa yang terletak jauh di pedalaman pulau Kalimantan.
Aku sendiri terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kehadiranku disambut riuh rancak burung pipit yang bertengger di dahan akasia pada pagi 21 September 1989. Hawa dingin segar dipagi hari, memberikan kenikmatan tersendiri. Setiap aku menutup mata, terselip kedamaian yang luar biasa di hati ini.
“Aku berhutang pada nyanyianmu” bisikku pada burung-burung itu.
Namun kini, aku tak henti-hentinya mengusap air yang terus terkantung di sudut mataku mengenang tragedi keserakahan manusia berhati baja itu.
“Tak berperasaan!”, kutukku pada kenyataan.
Hal ini berawal pada pagi hari, ketika bapak menyuruhku membeli makanan ayam dan pisang untuk Loko. Loko adalah nama lutung sejenis kera hitam berekor panjang kesayangan bapak. Uang pecahan ribuan segera menempel ditangan, tanda dimulainya tugas kedua dalam minggu ini. Bapak selalu menyuruhku untuk pergi kepasar dua kali dalam seminggu untuk memenuhi kebutuhan piaran kami itu. Dan ini telah menjadi tugas rutin, pergi ke pasar delapan kali dalam sebulan dengan hari-hari yang telah ditentukan. Yaitu Kamis dan minggu.
berbekal sepeda tua warna merah jambu andalan bapak, aku siap. Meskipun suaranya sudah berdengek kasar, tapi itu satu-satu alat transport warisan bapak dari bapakku – tidak semua keluarga sanggup memilikinya – Jagan kau hina!
Dalam perjalananku menuju ke pasar. Ada yang berbeda. Kali ini aku ternampak selusin orang memenuhi kantor balai desa. Sejenak aku menghentikan kayuhan sepeda ontaku dan melihat gelagat orang-orang tersenyum dan tertawa puas memenuhi balai desa. Beragam manusia ada disana. Ada yang kurus, ada yang tinggi besar memakai topi hitam, dan ada yang berkulit putih dengan perut membuncit. Dan adapula orang-orang yang memakai baju hijau-hijau, tersemat atribut pemerintah di bahunya. Sesekali aku mendengar riuh tepuk tangan mereka, dan tak henti-hentinya mereka mengatakan Suksek! Sukses! Sukses ya!? Mudah-mudahan sukses!. Urat-urat di lengannya nampak membesar ketika menggenggam tangan lawannya. Salaman erat, dengan henjutan pasti, sarat dengan keoptimisan dari air wajah-wajah orang-orang itu.
Serasa lama aku berdiri, sengal dikakiku membuatku tersadar dan mengingatkan bahwa aku ada tugas yang lebih penting, daripada aku harus bermain dengan pertanyaan-pertanyaan benak. Karena merasa terlambat dan haripun merambat siang, kukayuh sekuat-kuatnya sepeda jangkung berdiameter relatif lebar. Sepeda tua miliki bapak yang tak lagi memiliki kulit sadelnya. Meskipun begitu aku tidak perduli, karena dengan postur tubuhku yang kecil, aku memang tidak dapat menaiki sadelnya yang tinggi, he..he..he. Jika aku merasa sengal mengayuh, aku cukup duduk di batang besi berdesain miring yang terletak diantara setang dan batang penyangga sadelnya.
Butuh waktu lama untuk hitungan kiloan meter perjalanan dari rumuah menuju pasar. Tugas rutin ini sama sekali tak membuatku terbebani. Yang ada malah semangat menggebu. Karena hanya dengan ini aku merasa puas bersepeda dengan perjalanan panjang menyusuri kampung, melewati beberapa rumah-rumah warga. Dan yang lebih penting bagiku adalah, aku bisa melihat hutanku yang panjang. Indah menutupi impian bagi siapa saja yang ingin beranjak. Hijaunya mendamaikan jiwa. Mentolerir rasa capai sekalipun. Hutan ini biasa disebut sebagai hutan kerangas, satu tipe hutan hujan tropik yang umumnya terdapat di Kalimantan, yang setelah ditebang atau dibakar tidak dapat ditanami padi, karena mempunyai tanah podsol dengan pH 3 sampai 4 dan kandungan haranya rendah. Itu kata pak Jumrah, Kades yang entah sudah keberapa belas kalinya memimpin desa kami. Aku bingung bagaimana caranya dia bisa melanggengkan periode demi periodenya. Ganteng juga tidak! Aku sempat mengira kalau pak kades itu memakai susuk. Susuk pemilukada namanya.
Perlahan tapi pasti, akhirnya aku pun sampai di pasar, dan segera membeli pesanan bapak. Sekantung makanan ayam dan sesisir pisang tandan cukup memberiku alasan untuk tidak berlama-lama berada di area tanah sengketa pemerintah itu. Aku lebih senang bersepeda, daripada berhenti lama disuatu tempat. Dengan begitu aku bisa lebih puas lagi bersepeda. Dengan sedikit memelankan kayuhanku, aku tak bermaksud untuk menyinggung sang waktu. Tapi memang mataku ini, seakan tak puas melihat panorama hutan. Rasa sejuk, lembab, tenang, bersih dan damai, membuat betah mataku menongkronginya.
Tak terasa waktu yang berlalu. hari tak lagi panas, menandakan hari segera sore. Ku percepat kayuhan lamban sepada tua bapak. Aku melihat balai desa tampak lengang,
“Kemana orang-orang tadi?, apa mungkin karena sudah sore”. Tebakku.
Seperti aku yang ingin cepat-cepat pulang karena siang akan segera menutup usianya. Tebakan tak jitu itu kemudian membuatku merasa aneh. Aku melihat di jalan tanah ini tak lagi rata, tidak seperti yang aku lalui tadi pagi. Terdapat dua jalur yang membelah tanah. Seperti cetakan ban mobil berukuran besar.
“Tapi raksasa berbentuk apa yang sanggup menceruk tapak tanah demikian dalam?” Gumamku.
Rasa penasaran reflek menambah kecepatan kayuhku. Tiba-tiba hatiku bimbang, terbersit rasa tak nyaman akan hausku atas jawaban. Aku diberikan kelebihan oleh Tuhan dengan rasa penasaranku. Kuiringi salur-salur itu.
“Aku ingin tahu apa, kenapa, siapa, dimana dan bagimana bisa semua ini terjadi padaku dan hutanku!”. Aku tersentak ketika dihadapanku terhampar lapang kosong seluas dua belas kali lapangan bola. Hutanku hilang!? Aku tergaman ketika sampai di depan pekarangan tampak seperti area bandara kapal terbang itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja nadiku spontan tak bekerja dengan sempurna, darahku mulai menghangat. Aku seperti orang yang ingin berusaha mencari air dan sesegera mungkin untuk keluar dari mimpi.
Kusandarkan sepeda bapak ke tanah. Aku terhenyuh dengan pemandangan baru ini. Tak pernah sedikitpun aku menyangka, kalau ini akan terjadi. Mataku basah. Tapi aku merasa hatikulah yang sedang menangis, hanya – airnya saja meleleh melalui mata. Aku tertegun tak dapat berkata lagi. Tak kuhiraukan lagi pesanan bapak yang segera harus ku antar pulang. Tundukku tak habis pikir, berkali-kali menelan liur meski kerongkongan ini sejak tadi memang kering.
Aku mematung dan mengangkat wajahku perlahan, memandang lekat masih tak percaya. Hening, sepi, tak terdengar ada nyanyian penduduk hutan. Namun kemudian mataku menangkap objek besar, sebuah lembaga baja besar beroda rantai dilengkapi alat untuk meratakan tanah dan menumbangkan pohon besar. Posisinya yang terparkir diantara tumpukan mayat-mayat kayu besar itu, membuatku yakin pasti robot inilah penyebabnya.
“Rupanya jalur-jalur di ruas jalan tadi adalah tapakmu. Kau pasti yang telah mebunuh kayu-kayu itu kan?”. Baguslah kau diam. Karena aku sudah tak perduli dengar alasanmu. Jujur!, meski aku baru berusia dua belas tahun, tapi aku tidak takut padanya. Lawan aku barbar!?
Rasa geramku mulai membatu, umpat serapah makian dan cercaan kuarahkan ke telinga badak besar itu. Tak puas hanya dengan itu, kupaketkan segera tinju dan tendanganku kearah lembaga yang sesungguhnya tak kukenali itu. Tanganku berdarah, kakiku lecet, sengal membiru. Namun, “rasa sakit di tangan dan kaki ini tak sebanding dengan sakit dihatiku”. Darahku semakin gila bergejolak.
“Kau tau akibat dari semua perlakuanmu ini!?, Ibu dari kayu-kayu ini akan marah kepadamu! lutungku juga akan mengutukmu, bodoh! Kaulah pendosa, merusak paru-paru Ibu! Tangisnya segera menenggelamkan cita kami orang kampung.” Aku terus saja berteriak, menggertak dan memakinya. Tapi seingatku dia tak sedikitpun bergeming kala itu, aku menduga dia telah mengakui kesalahannya.
Aku sendiri terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kehadiranku disambut riuh rancak burung pipit yang bertengger di dahan akasia pada pagi 21 September 1989. Hawa dingin segar dipagi hari, memberikan kenikmatan tersendiri. Setiap aku menutup mata, terselip kedamaian yang luar biasa di hati ini.
“Aku berhutang pada nyanyianmu” bisikku pada burung-burung itu.
Namun kini, aku tak henti-hentinya mengusap air yang terus terkantung di sudut mataku mengenang tragedi keserakahan manusia berhati baja itu.
“Tak berperasaan!”, kutukku pada kenyataan.
Hal ini berawal pada pagi hari, ketika bapak menyuruhku membeli makanan ayam dan pisang untuk Loko. Loko adalah nama lutung sejenis kera hitam berekor panjang kesayangan bapak. Uang pecahan ribuan segera menempel ditangan, tanda dimulainya tugas kedua dalam minggu ini. Bapak selalu menyuruhku untuk pergi kepasar dua kali dalam seminggu untuk memenuhi kebutuhan piaran kami itu. Dan ini telah menjadi tugas rutin, pergi ke pasar delapan kali dalam sebulan dengan hari-hari yang telah ditentukan. Yaitu Kamis dan minggu.
berbekal sepeda tua warna merah jambu andalan bapak, aku siap. Meskipun suaranya sudah berdengek kasar, tapi itu satu-satu alat transport warisan bapak dari bapakku – tidak semua keluarga sanggup memilikinya – Jagan kau hina!
Dalam perjalananku menuju ke pasar. Ada yang berbeda. Kali ini aku ternampak selusin orang memenuhi kantor balai desa. Sejenak aku menghentikan kayuhan sepeda ontaku dan melihat gelagat orang-orang tersenyum dan tertawa puas memenuhi balai desa. Beragam manusia ada disana. Ada yang kurus, ada yang tinggi besar memakai topi hitam, dan ada yang berkulit putih dengan perut membuncit. Dan adapula orang-orang yang memakai baju hijau-hijau, tersemat atribut pemerintah di bahunya. Sesekali aku mendengar riuh tepuk tangan mereka, dan tak henti-hentinya mereka mengatakan Suksek! Sukses! Sukses ya!? Mudah-mudahan sukses!. Urat-urat di lengannya nampak membesar ketika menggenggam tangan lawannya. Salaman erat, dengan henjutan pasti, sarat dengan keoptimisan dari air wajah-wajah orang-orang itu.
Serasa lama aku berdiri, sengal dikakiku membuatku tersadar dan mengingatkan bahwa aku ada tugas yang lebih penting, daripada aku harus bermain dengan pertanyaan-pertanyaan benak. Karena merasa terlambat dan haripun merambat siang, kukayuh sekuat-kuatnya sepeda jangkung berdiameter relatif lebar. Sepeda tua miliki bapak yang tak lagi memiliki kulit sadelnya. Meskipun begitu aku tidak perduli, karena dengan postur tubuhku yang kecil, aku memang tidak dapat menaiki sadelnya yang tinggi, he..he..he. Jika aku merasa sengal mengayuh, aku cukup duduk di batang besi berdesain miring yang terletak diantara setang dan batang penyangga sadelnya.
Butuh waktu lama untuk hitungan kiloan meter perjalanan dari rumuah menuju pasar. Tugas rutin ini sama sekali tak membuatku terbebani. Yang ada malah semangat menggebu. Karena hanya dengan ini aku merasa puas bersepeda dengan perjalanan panjang menyusuri kampung, melewati beberapa rumah-rumah warga. Dan yang lebih penting bagiku adalah, aku bisa melihat hutanku yang panjang. Indah menutupi impian bagi siapa saja yang ingin beranjak. Hijaunya mendamaikan jiwa. Mentolerir rasa capai sekalipun. Hutan ini biasa disebut sebagai hutan kerangas, satu tipe hutan hujan tropik yang umumnya terdapat di Kalimantan, yang setelah ditebang atau dibakar tidak dapat ditanami padi, karena mempunyai tanah podsol dengan pH 3 sampai 4 dan kandungan haranya rendah. Itu kata pak Jumrah, Kades yang entah sudah keberapa belas kalinya memimpin desa kami. Aku bingung bagaimana caranya dia bisa melanggengkan periode demi periodenya. Ganteng juga tidak! Aku sempat mengira kalau pak kades itu memakai susuk. Susuk pemilukada namanya.
Perlahan tapi pasti, akhirnya aku pun sampai di pasar, dan segera membeli pesanan bapak. Sekantung makanan ayam dan sesisir pisang tandan cukup memberiku alasan untuk tidak berlama-lama berada di area tanah sengketa pemerintah itu. Aku lebih senang bersepeda, daripada berhenti lama disuatu tempat. Dengan begitu aku bisa lebih puas lagi bersepeda. Dengan sedikit memelankan kayuhanku, aku tak bermaksud untuk menyinggung sang waktu. Tapi memang mataku ini, seakan tak puas melihat panorama hutan. Rasa sejuk, lembab, tenang, bersih dan damai, membuat betah mataku menongkronginya.
Tak terasa waktu yang berlalu. hari tak lagi panas, menandakan hari segera sore. Ku percepat kayuhan lamban sepada tua bapak. Aku melihat balai desa tampak lengang,
“Kemana orang-orang tadi?, apa mungkin karena sudah sore”. Tebakku.
Seperti aku yang ingin cepat-cepat pulang karena siang akan segera menutup usianya. Tebakan tak jitu itu kemudian membuatku merasa aneh. Aku melihat di jalan tanah ini tak lagi rata, tidak seperti yang aku lalui tadi pagi. Terdapat dua jalur yang membelah tanah. Seperti cetakan ban mobil berukuran besar.
“Tapi raksasa berbentuk apa yang sanggup menceruk tapak tanah demikian dalam?” Gumamku.
Rasa penasaran reflek menambah kecepatan kayuhku. Tiba-tiba hatiku bimbang, terbersit rasa tak nyaman akan hausku atas jawaban. Aku diberikan kelebihan oleh Tuhan dengan rasa penasaranku. Kuiringi salur-salur itu.
“Aku ingin tahu apa, kenapa, siapa, dimana dan bagimana bisa semua ini terjadi padaku dan hutanku!”. Aku tersentak ketika dihadapanku terhampar lapang kosong seluas dua belas kali lapangan bola. Hutanku hilang!? Aku tergaman ketika sampai di depan pekarangan tampak seperti area bandara kapal terbang itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja nadiku spontan tak bekerja dengan sempurna, darahku mulai menghangat. Aku seperti orang yang ingin berusaha mencari air dan sesegera mungkin untuk keluar dari mimpi.
Kusandarkan sepeda bapak ke tanah. Aku terhenyuh dengan pemandangan baru ini. Tak pernah sedikitpun aku menyangka, kalau ini akan terjadi. Mataku basah. Tapi aku merasa hatikulah yang sedang menangis, hanya – airnya saja meleleh melalui mata. Aku tertegun tak dapat berkata lagi. Tak kuhiraukan lagi pesanan bapak yang segera harus ku antar pulang. Tundukku tak habis pikir, berkali-kali menelan liur meski kerongkongan ini sejak tadi memang kering.
Aku mematung dan mengangkat wajahku perlahan, memandang lekat masih tak percaya. Hening, sepi, tak terdengar ada nyanyian penduduk hutan. Namun kemudian mataku menangkap objek besar, sebuah lembaga baja besar beroda rantai dilengkapi alat untuk meratakan tanah dan menumbangkan pohon besar. Posisinya yang terparkir diantara tumpukan mayat-mayat kayu besar itu, membuatku yakin pasti robot inilah penyebabnya.
“Rupanya jalur-jalur di ruas jalan tadi adalah tapakmu. Kau pasti yang telah mebunuh kayu-kayu itu kan?”. Baguslah kau diam. Karena aku sudah tak perduli dengar alasanmu. Jujur!, meski aku baru berusia dua belas tahun, tapi aku tidak takut padanya. Lawan aku barbar!?
Rasa geramku mulai membatu, umpat serapah makian dan cercaan kuarahkan ke telinga badak besar itu. Tak puas hanya dengan itu, kupaketkan segera tinju dan tendanganku kearah lembaga yang sesungguhnya tak kukenali itu. Tanganku berdarah, kakiku lecet, sengal membiru. Namun, “rasa sakit di tangan dan kaki ini tak sebanding dengan sakit dihatiku”. Darahku semakin gila bergejolak.
“Kau tau akibat dari semua perlakuanmu ini!?, Ibu dari kayu-kayu ini akan marah kepadamu! lutungku juga akan mengutukmu, bodoh! Kaulah pendosa, merusak paru-paru Ibu! Tangisnya segera menenggelamkan cita kami orang kampung.” Aku terus saja berteriak, menggertak dan memakinya. Tapi seingatku dia tak sedikitpun bergeming kala itu, aku menduga dia telah mengakui kesalahannya.
Cermin Ajaib
Pada suatu hari seorang dungu terheran-heran melihat suatu benda bercahaya, kilauan itu menggelitik hasratnya untuk segera cari tahu. Pada awalnya dia bingung benda apa yang begitu menyilauakan dari kejauhan – setelah didekatinya ternyata hanya sebuah potongan cermin pecah, dalam hatinya ia berkata “Ooh.. ini toh yang membuat silau mataku”, dipandanginya lekat-lekat cermin kusam itu, kemudian berkata “Pantas saja foto ini dibuang, gambarnya saja jelek”.
Dunia ini dipenuhi banyak cermin sehingga banyak sekali yang harus kita pandangi, kita tidak pernah tahu diri kita cantik, baik, menawan dan – atau apalah itu namanya – jika bukan cermin yang menginformasikan kepada kita, dan kita tidak pula mendiktum bahwa kita telah menang, jika cermin bangsa ini buram tak terlihat.
Begitupun dengan cermin sejarah yang tak henti-hentina memberikan kita harga sebuah kesuksesan tak mesti dibarengi dengan darah dan air mata jika satu diantara kita tidak curang dalam hidup. Kebebasan berbuat yang diberikan membuat kita tidak sempat bercermin dengan wajah-wajah melankolis ditepian pantai lumpur Lapindo.
Kita ketahui hukum kebebasan dengan aksioma “kebebasan dibatasi oleh kebebasan itu sendiri”. Kita bebas berteriak kapan saja dan dimana saja selama kita masih memiliki sedikit sisa suara. Begitupun juga orang lain memiliki kebebasan dengan atau untuk tidak mendengarkan suara jelek kita.
Dengan adanya cermin kehidupan, kita akan optimis dalam melagkah tanpa harus surut kebelakang. Dari kecil hingga dewasa kita telah belajar untuk menjadikan pengalaman sesuatu yang berharga. Inilah yang menurut definisi Behaviorisme hal belajar, “Belajar ialah hal perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi.
Permasalahannya bukan pada cermin kusam, hingga kita harus membuang ataupun memecahkannya tapi bagaimana kita melihat kedalam cermin tersebut. Mata ini harus belajar untuk dewasa, mau belajar menghargai orang lain, menerima kemampuan orang lain dengan hati terbuka dan lapang dada. Kita menjadi cermin bagi orang lain dan begitu pun sebaliknya.
Ketika kita tahu bahwa sedikit sekali orang yang menyimpan cermin di dalam hati dan pikirannya. Pada saat yang bersamaan pula orang akan kehilangan hampir sepenuhnya kebahagiaan hidupnya. Bahkan beberapa orang diantara kita tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan memalukan yang dianggap sebagai suatu ekspresi kebenaran diri. Menutupi kekurangan dengan kekurangan, menutupi keburukan dengan keburukan, menutupi kejahatan dengan kejahatan, menutupi kebohongan dengan penghianatan yang menjijikan.
Hal di atas menjadi “seksi” lagi ketika kekuasaan menjadi pendukung dan pelindung, mengambil jalan pintas bagi setiap permasalahan pelik. Mengeruk, memeras, aniaya, ekploitasi gila, konflik kepentingan dibalik wajah kebebasan berdemokrasi menjadi kian lumrah. Dan hanya orang-orang yang memakai topeng yang tidak bisa melihat wajah aslinya di dalam cermin.
Demikian golongan putih memandang perubahan dan perombakan besar yang dijanjikan tidak membuahkan apa-apa, bahkan lebih liar dari sebuah penataan ulang demokrasi di Prancis. Iklim demokrasi sepatutnya menjadikan kursi lebih kecil daripada meja. Porsi pemerintah lebih kecil dan lebih banyak kepada “menghidangkan” kebijakan-kebijakan yang lebih bemoral bagi masyarakat rakyat. Mengeliminir kepentingan-kepentingan yang bepihak, sehingga kedepan tidak ada lagi papan catur kokoh terbuat dari kayu jati menghuni meja setebal empat inci, tapi menggantinya dengan lebih banyak lagi cermin untuk selalu menghiasi diri dengan kebaikan dan rasa malu, untuk melakukan hal-hal yang lebih pantas.
Dunia ini dipenuhi banyak cermin sehingga banyak sekali yang harus kita pandangi, kita tidak pernah tahu diri kita cantik, baik, menawan dan – atau apalah itu namanya – jika bukan cermin yang menginformasikan kepada kita, dan kita tidak pula mendiktum bahwa kita telah menang, jika cermin bangsa ini buram tak terlihat.
Begitupun dengan cermin sejarah yang tak henti-hentina memberikan kita harga sebuah kesuksesan tak mesti dibarengi dengan darah dan air mata jika satu diantara kita tidak curang dalam hidup. Kebebasan berbuat yang diberikan membuat kita tidak sempat bercermin dengan wajah-wajah melankolis ditepian pantai lumpur Lapindo.
Kita ketahui hukum kebebasan dengan aksioma “kebebasan dibatasi oleh kebebasan itu sendiri”. Kita bebas berteriak kapan saja dan dimana saja selama kita masih memiliki sedikit sisa suara. Begitupun juga orang lain memiliki kebebasan dengan atau untuk tidak mendengarkan suara jelek kita.
Dengan adanya cermin kehidupan, kita akan optimis dalam melagkah tanpa harus surut kebelakang. Dari kecil hingga dewasa kita telah belajar untuk menjadikan pengalaman sesuatu yang berharga. Inilah yang menurut definisi Behaviorisme hal belajar, “Belajar ialah hal perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi.
Permasalahannya bukan pada cermin kusam, hingga kita harus membuang ataupun memecahkannya tapi bagaimana kita melihat kedalam cermin tersebut. Mata ini harus belajar untuk dewasa, mau belajar menghargai orang lain, menerima kemampuan orang lain dengan hati terbuka dan lapang dada. Kita menjadi cermin bagi orang lain dan begitu pun sebaliknya.
Ketika kita tahu bahwa sedikit sekali orang yang menyimpan cermin di dalam hati dan pikirannya. Pada saat yang bersamaan pula orang akan kehilangan hampir sepenuhnya kebahagiaan hidupnya. Bahkan beberapa orang diantara kita tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan memalukan yang dianggap sebagai suatu ekspresi kebenaran diri. Menutupi kekurangan dengan kekurangan, menutupi keburukan dengan keburukan, menutupi kejahatan dengan kejahatan, menutupi kebohongan dengan penghianatan yang menjijikan.
Hal di atas menjadi “seksi” lagi ketika kekuasaan menjadi pendukung dan pelindung, mengambil jalan pintas bagi setiap permasalahan pelik. Mengeruk, memeras, aniaya, ekploitasi gila, konflik kepentingan dibalik wajah kebebasan berdemokrasi menjadi kian lumrah. Dan hanya orang-orang yang memakai topeng yang tidak bisa melihat wajah aslinya di dalam cermin.
Demikian golongan putih memandang perubahan dan perombakan besar yang dijanjikan tidak membuahkan apa-apa, bahkan lebih liar dari sebuah penataan ulang demokrasi di Prancis. Iklim demokrasi sepatutnya menjadikan kursi lebih kecil daripada meja. Porsi pemerintah lebih kecil dan lebih banyak kepada “menghidangkan” kebijakan-kebijakan yang lebih bemoral bagi masyarakat rakyat. Mengeliminir kepentingan-kepentingan yang bepihak, sehingga kedepan tidak ada lagi papan catur kokoh terbuat dari kayu jati menghuni meja setebal empat inci, tapi menggantinya dengan lebih banyak lagi cermin untuk selalu menghiasi diri dengan kebaikan dan rasa malu, untuk melakukan hal-hal yang lebih pantas.
Langganan:
Postingan (Atom)